Langsung ke konten utama

Varemara

(ilustrasi pulau menggunakan bantuan ai)

Penghuni pulau ini tidak makmur, tidak kaya, tidak pintar, sedikit bahagia, kurang lebih seperti itu jawaban dari kuli angkut di dermaga. Padahal, pikirku pulau ini begitu makmur dengan hutan bakau di sekitar pantai, pasir putih mengelilingi pulau, hingga terumbu karang yang kaya akan kehidupan. Pulau Varemara namanya, ujar kuli angkut sambil menurunkan barangku di hostel. “Nama yang bagus! Bukankah begitu?”—respon ku spontan.
“Segala hal terlihat indah nak. Tak segala yang indah dan sedap dipandang selalu baik, ingatlah itu. Oh, kalau butuh bantuan, hubungi diriku ya”, ia pergi setelah menerima upahnya.
Aku iri pada Varemara mulai awal langkahku memasuki Varemara, penerima turis disini begitu ramah, aksen bahasa yang halus, serta tidak sedikitpun ada pungutan liar, duhai tenangnya. Harapku nyaman tinggal disini hingga kematian nanti, pikirku dalam hati. Hostel tempatku tinggal begitu sederhana, perpaduan antara semen dan kayu jati membuatnya elok, antara modern dan tradisional, depan hostel terlihat rayuan pohon kelapa disusuri rumput-rumputan Jepang. Menuju lobi terdapat ornamen-ornamen kayu khas Varemara, meliuk-liuk mengikuti ombak bak menyambut penghuni dengan gemulai namun tegas.
“Varerama menjadi seperti ini sejak Tuanku mengklaim dirinya sebagai pemimpin, semua warga terpaku pada parasnya, kharismanya, wibawanya, tidak pada daya dan liciknya, duhai sengsara!”, lirih pegawai tua hostel di lobby.
***
Aku Albert, umurku 22 tahun bulan depan, penjelajahan ku ke banyak wilayah guna mencari tenang, mencari jawaban atas eksistensiku di dunia ini. Terlalu filosofis? Mungkin. Hingga umur 19 tahun aku tidak pernah keluar dari lingkungan kumuh itu, Mineralis nama daerahnya, sebuah distrik di tengah ibukota yang buruk habitatnya dan terkenal kriminal.
Pagi itu, sinar matahari menyusup di antara celah-celah dedaunan pohon kelapa yang berbaris di sepanjang jalan setapak. Langit biru membentang tanpa noda, seakan menggambarkan ketenangan Pulau Varemara. Aku melangkahkan kaki keluar dari hostel, udara pagi membawa aroma asin laut bercampur wangi tanah basah. Burung-burung laut melayang rendah, melukis pola-pola acak di langit.
Jalan menuju desa utama dipenuhi hamparan hutan bakau. Aku berjalan pelan, menikmati pemandangan akar-akarnya yang menjuntai seperti tentakel. Di ujung jalan, sebuah perahu kecil tertambat di dermaga kayu, bergoyang mengikuti ritme ombak kecil. Seorang lelaki tua dengan kulit gelap kecokelatan dan rambut putih menyapa.
“Mau ke mana, Nak?” tanyanya dengan aksen lokal yang khas.
“Sekadar ingin melihat-lihat, Pak. Apa ada tempat yang menarik di sekitar sini?”
Ia mengangguk pelan, matanya menyipit seolah mencoba menilai niatku. “Ada Pantai Seruni di sebelah timur, atau kalau berani, bisa ke Goa Larang di utara. Tapi hati-hati, tempat itu tidak biasa.”
Aku memilih Pantai Seruni. Lelaki itu menunjukkan jalan setapak yang berkelok, menembus hutan kecil. Suara alam menyambutku—kicauan burung, gesekan daun tertiup angin, dan gemuruh ombak di kejauhan.
Ketika akhirnya sampai di pantai, aku terdiam. Seruni benar-benar menakjubkan. Pasir putih yang lembut membentang luas, dihiasi kerang-kerang kecil yang tertata alami. Air lautnya jernih hingga dasar, memperlihatkan terumbu karang warna-warni yang hidup. Angin bertiup lembut membawa aroma laut yang menyegarkan. Di kejauhan, beberapa nelayan dengan perahu tradisional mengangkat jaring.
Aku melangkah lebih dekat ke air, membiarkan ombak kecil menyentuh kakiku. Namun, mataku tertarik pada sesuatu yang lain—seorang anak kecil berdiri di dekat sebuah pohon kelapa tumbang. Wajahnya terlihat sendu, kontras dengan keindahan sekeliling.
“Kau tidak berenang?” tanyaku mencoba memulai percakapan.
Anak itu hanya menatapku dengan mata besar yang penuh kehati-hatian. “Air di sini indah, tapi kadang memakan nyawa,” ucapnya singkat sebelum berlari menjauh ke arah desa. Kata-katanya membuatku terpaku. Di balik pesona pulau ini, sepertinya ada rahasia kelam yang tersembunyi.
Perjalanan berikutnya membawaku ke pasar desa, pusat keramaian Varemara. Penduduk lokal berjualan ikan segar, buah-buahan tropis, dan kerajinan tangan yang dihias motif khas pulau ini. Suasana hangat dan penuh warna, tetapi aku tidak bisa menghilangkan rasa aneh di hatiku. Setiap senyum dan tawa tampak seperti tirai yang menyembunyikan sesuatu.
Salah satu penjual, seorang wanita paruh baya, menawarkan buah mangga padaku. “Ini mangga terbaik di pulau. Manis, seperti hidup kami di sini,” katanya sambil tersenyum. Aku mencoba menggali lebih banyak tentang kehidupan mereka. “Pulau ini terlihat seperti surga. Pasti menyenangkan tinggal di sini.” Wanita itu tertawa kecil, tapi ada kesedihan dalam suaranya. “Surga? Mungkin. Tapi setiap surga punya penunggunya, bukan?”
Menjelang sore, aku memutuskan untuk menuju Goa Larang. Kata orang, tempat itu dikelilingi mitos tentang roh penjaga pulau. Jalan menuju goa dipenuhi batu karang, tajam dan licin, dengan suara debur ombak memecah kesunyian. Ketika tiba di mulut goa, suasana berubah. Udara menjadi lebih dingin, dan suara alam di luar perlahan menghilang. Aku menyalakan senter, menyusuri lorong sempit di dalam goa. Dindingnya dipenuhi ukiran-ukiran kuno—gambar kapal, ikan besar, dan sosok manusia yang memegang tombak. Rasanya seperti memasuki museum yang tersembunyi dari peradaban. Di ujung lorong, aku menemukan sebuah ruangan luas dengan altar batu di tengahnya. Ada sesuatu yang tertulis di dinding belakang altar, tapi bahasanya asing bagiku. Tepat saat aku mencoba mendekat, suara gemuruh terdengar, seperti langkah-langkah berat yang datang dari kedalaman goa. Aku membeku, sadar bahwa Varemara bukan sekadar pulau biasa. Tempat ini memiliki sejarah, rahasia, dan mungkin bahaya yang menunggu untuk ditemukan.
***
Aku kembali ke hostel dengan pikiran penuh tanda tanya. Varemara tampak begitu memesona di permukaan, tetapi bayangan-bayangan gelap mulai tampak di balik keindahannya. Mulai dari ucapan anak kecil di Pantai Seruni hingga ukiran-ukiran aneh di Goa Larang, semua itu seperti petunjuk yang merangkai sebuah rahasia besar.
Di lobi hostel, aku bertemu salah satu pegawai bernama Suri. Perempuan muda ini selalu menyambut tamu dengan senyum ramah, namun sore itu ia tampak murung. Entah karena penasaran atau memang aku merasa ada yang tidak beres, aku bertanya padanya.
“Suri, bolehkah aku bertanya? Apa kau tahu sesuatu tentang Goa Larang?”
Suri terdiam sejenak, seolah mempertimbangkan apakah ia harus menjawab. Akhirnya, ia berbisik pelan, matanya melirik ke sekitar untuk memastikan tidak ada yang mendengar. “Kau tidak seharusnya pergi ke sana. Goa itu adalah tempat milik Tuanku. Dia tidak suka orang luar menyentuh urusannya.”
“Tuanku?” Aku mendengar nama itu lagi. “Siapa sebenarnya dia?”
“Dia adalah pemimpin kami, dan segalanya di pulau ini berada di bawah kekuasaannya,” jawab Suri singkat. Lalu, dengan suara yang lebih pelan, ia melanjutkan, “Banyak yang menghormatinya karena pesona dan wibawanya. Tapi ada juga yang takut.”
Aku tak ingin membuatnya lebih gelisah, jadi aku memutuskan tidak memaksanya bicara lebih banyak. Namun, informasi ini membuatku semakin yakin ada sesuatu yang salah di Varemara.
***
Malam itu, aku memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar desa. Langit dipenuhi bintang, tapi suasana di jalanan terasa suram. Hanya beberapa lampu minyak yang menerangi jalan setapak, dan suara langkah kakiku terasa bergema.
Di ujung desa, aku melihat seorang pria tua duduk di depan rumah kayu kecil sambil merokok tembakau dengan hikmat, dengan pandangan kosong mengarah ke laut. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuatku mendekat.
“Selamat malam, Pak. Maaf mengganggu, bolehkah aku duduk?” tanyaku sopan.
Ia mengangguk tanpa berkata-kata, lalu menyerahkan secarik tembakau padaku. Aku menerimanya meski sebenarnya tidak berniat merokok. Setelah beberapa saat dalam keheningan, ia mulai berbicara.
“Kau bukan orang pertama yang datang ke sini untuk mencari ketenangan,” katanya tanpa memandangku. “Dan kau juga bukan yang pertama merasa bahwa pulau ini menyimpan sesuatu.”
Jantungku berdegup lebih cepat. “Apa yang sebenarnya terjadi di sini?” tanyaku.
“Tuanku adalah berkat dan kutukan kami,” jawabnya. “Ia datang ke pulau ini bertahun-tahun lalu, membawa janji-janji kemakmuran. Awalnya kami percaya padanya. Tapi perlahan, kami menyadari bahwa ia tidak hanya mengambil apa yang kami miliki, tapi juga jiwa kami.”
Aku tidak mengerti sepenuhnya apa maksudnya, tetapi ada kepahitan mendalam dalam suaranya. Ia bercerita tentang bagaimana Tuanku menguasai sumber daya pulau ini, mengendalikan kehidupan penduduk, dan membuat mereka bergantung sepenuhnya padanya.
“Kau tahu kenapa orang-orang tetap diam?” tanyanya sambil menatapku. “Karena ketakutan lebih kuat dari kemiskinan. Dan ketakutan itu adalah senjata Tuanku.”
Aku merasa beban berat mulai menghimpit dadaku. Semua yang kudengar, semua yang kulihat, membentuk gambaran mengerikan tentang Varemara.
***
Sial, aku tidak bisa tidur. Kata-kata pria tua itu terus terngiang di kepalaku. Ada bagian diriku yang ingin melakukan sesuatu untuk membantu mereka. Tapi ada juga rasa takut dan egois yang berbisik bahwa ini bukan urusanku. Aku mengingat alasan mengapa aku meninggalkan Mineralis—kota kumuh yang penuh kekerasan, tempat aku tumbuh tanpa harapan. Aku datang ke Varemara untuk mencari kedamaian, bukan untuk terlibat dalam masalah baru. Namun, bisa kah aku hanya berpaling ketika aku tahu ada ketidakadilan di depan mataku?
Aku mencoba menenangkan pikiranku, kuambil sebatang rokok dari saku jaket sembari berjalan menghilangkan gusar. Angin laut dingin menyapu wajahku, tetapi tidak menghapus keraguan di hatiku.
“Apakah aku akan menjadi pengecut jika pergi?” gumamku pada diri sendiri.
Aku teringat wajah Suri, pria tua itu, dan anak kecil di Pantai Seruni. Mereka semua tampak seperti bagian dari teka-teki yang belum selesai. Tapi setiap langkah ke arah kebenaran berarti aku akan melangkah lebih jauh dari kedamaian yang kucari. “Apa yang sebenarnya kucari?” pikirku dengan frustrasi. Jawaban atas eksistensiku? Kedamaian? Atau mungkin, tanpa kusadari, aku sebenarnya mencari arti keberanian?
Langit di atas Varemara tetap diam. Laut menggemuruh seolah berbicara dalam bahasa yang tidak kumengerti. Aku tahu keputusanku malam ini akan menentukan segalanya—apakah aku akan menjadi bagian dari pulau ini, atau pergi meninggalkan semuanya seperti pengecut. Saat itu, aku menyadari: keputusan ini lebih dari sekadar tentang Varemara. Ini adalah tentang siapa aku sebenarnya.
***
Langit di Varemara mulai merekah, warna jingga dan ungu berbaur di cakrawala seperti lukisan yang setengah selesai. Aku berdiri di tepi pantai, tempat perahu kecil itu menanti. Ombak bergulung perlahan, seperti napas pulau yang terus berjalan tanpa memedulikan apa pun.
Di hadapanku, laut tampak luas dan bebas. Di belakangku, hutan yang penuh bisik-bisik dan rahasia berdiri kokoh, membayangi kehidupan desa dengan sunyinya. Angin berembus lembut, seolah menyuruhku memutuskan, tetapi keputusan itu lebih berat daripada yang kusangka.
Aku mengingat percakapanku dengan pria tua itu tadi malam, ketika ia mengungkapkan sesuatu yang tidak sepenuhnya bisa kupahami.
“Pulau ini bukan hanya rumah kami,” katanya sambil menatap gelapnya laut. “Ia adalah kutukan, tetapi juga berkah. Setiap orang yang datang ke sini membawa sesuatu, dan setiap orang yang pergi, meninggalkan sesuatu. Termasuk kau.”
“Apa yang aku bawa?” tanyaku saat itu, dengan suara yang nyaris bergetar.
Ia hanya tersenyum samar, tembakau di tangannya mengepulkan asap tipis. “Mungkin kau membawa perubahan. Mungkin kehancuran. Siapa yang tahu? Tapi yang pasti, kau tak akan pernah pulang sebagai orang yang sama.” Kata-katanya terasa menggema di pikiranku saat ini, membuat keheningan di sekitar menjadi lebih berat.
Aku berpaling menatap hutan di belakangku. Di sana ada Suri, pria tua itu, anak kecil di Pantai Seruni, dan semua penduduk yang tampak damai namun diam. Mereka tidak memintaku untuk tinggal, tetapi aku tahu ada harapan yang tak terucapkan dalam tatapan mereka. Seakan-akan, kehadiranku membawa kemungkinan baru—entah harapan, atau kehancuran. Namun, ada pula ketakutan dalam diriku. Jika aku tinggal, apakah aku mampu menghadapi kekuatan Tuanku? Apakah aku cukup kuat untuk melawan sistem yang telah berakar begitu dalam? Atau aku hanya akan menjadi bagian dari roda itu, terhisap dan kehilangan tujuan yang awalnya kucari?
Aku melangkah mendekati perahu, tanganku menyentuh kayu yang dingin. Perahu itu bisa membawaku pergi, kembali ke dunia yang luas dan tak terikat. Dunia di mana aku bisa melanjutkan pencarian kedamaian yang selama ini menjadi alasanku mengembara. Kakiku terasa berat. Bukan karena kelelahan, melainkan karena kesadaran. Kesadaran bahwa meninggalkan Varemara berarti meninggalkan sesuatu yang tidak bisa kulupakan.
“Kadang,” suara pria tua itu kembali mengiang di pikiranku, “keputusan terbaik adalah yang paling tidak kau inginkan.”
Aku menarik napas panjang, membiarkan udara asin laut memenuhi paru-paruku. Aku tahu bahwa apa pun yang kupilih, tidak ada jawaban yang benar. Jika aku pergi, aku akan selalu bertanya-tanya apa yang terjadi pada Varemara tanpa aku. Jika aku tinggal, aku akan mempertanyakan apakah aku benar-benar memiliki kekuatan untuk membuat perbedaan. Langkahku akhirnya terhenti di titik yang tidak pernah kuceritakan pada siapa pun. Perahu itu tetap menunggu, diam seperti saksi yang netral. Hutan di belakangku tetap berbisik, menyimpan rahasia yang tak akan pernah terbuka sepenuhnya.
Matahari perlahan muncul di ufuk timur, cahayanya menyinari pasir putih dan bayanganku yang terpantul di air. Aku berdiri di antara dua dunia—di satu sisi, lautan kebebasan yang tak bertepi, dan di sisi lain, tanah yang terikat oleh ketakutan, keindahan, dan cerita yang tak pernah selesai.
Aku tidak tahu ke mana kakiku melangkah akhirnya. Apakah aku naik ke perahu dan meninggalkan Varemara sebagai masa lalu? Atau aku berbalik dan memilih menjadi bagian dari cerita yang mungkin tak akan pernah selesai?
Yang masih aku yakini, Varemara tidak akan pernah sama setelah ini, sebagaimana aku tak akan pernah menjadi orang yang sama lagi. Angin pagi menghapus jejak langkahku di pasir. Laut tetap bergemuruh, hutan tetap diam. Dan kisah Varemara? Ia terus hidup di antara ombak dan pepohonan, menunggu siapa pun yang berani datang dan mendengarnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pelarian dari Kehidupan yang Melankolis, Makna Lagu Barasuara - Hitam dan Biru

Pada 21 Juni 2024, Barasuara telah merilis album ketiga mereka yang berjudul ‘Jalaran Sadrah' yang diambil dari bahasa jawa yang bermakna karena pasrah. Album ini memiliki jangka 4 tahun dari album sebelumnya yang bertajuk ‘Pikiran dan Perjalanan’. Lirik yang ditulis dalam lagu Hitam dan Biru merupakan hasil olah pikir Iga Massardi dan juga komposisi dari Puti Chitara, ditambah dengan sentuhan legenda musik Indonesia yakni Erwin Gutawa serta dilanjutkan oleh Czech Symphony Orchestra kian membuat kesan yang mewah dan mendalam.  Hitam dan biru membawa suasana kelam dalam kehidupan, pelarian seseorang dari banyak masalah dan rintangan. Lagu ini mengingatkan kita bahwa sejauh apapun kita lari dari kehidupan, pastinya akan terkejar. Kita adalah manusia yang entah benar atau salah, lawan segala masalahmu, jangan lari. Hitam dan Biru – Barasuara Di batas petang aku akan datang Bawa berita kurang menyenangkan Tentang hidupku, tentang hidupmu Yang penuh pertanyaan, penuh penyangkalan Mengap...

Problematika Mental Gen-Z

(sumber tertera pada gambar ) Generasi Z atau lebih dikenal dengan nama Gen-Z adalah orang-orang yang lahir antara tahun 1997—2012. Teknologi yang semakin maju di generasi ini memudahkan segala akses ke segala hal baik sisi positif maupun negatif, tergantung bagaimana mereka memanfaatkannya. Dengan kemajuan teknologi yang sedemikian pesat, bukannya justru Gen-Z akan lebih mapan dibanding generasi sebelumnya? Jika pembaca melihatnya secara polos memang benar akan terlihat semudah itu. Akan tetapi, realitanya justru lebih kompleks dari yang terlihat. Ada banyak sekali faktor yang bisa mempengaruhi lemahnya mental generasi ini. Penyebab terjadinya permasalahan mental ini memang bersifat relatif. Namun kita tetap bisa mencari penyebab keseluruhannya, yaitu: 1. Kemajuan Teknologi Kemajuan teknologi dapat mempengaruhi mental health seseorang karena terlalu mudahnya mengakses segala hal khususnya sebagai sarana mencari kebahagiaan secara instan. Karena sudah terlalu sering melakukan sesuatu d...