Wanita di depannya melirih, Tuan sinis. Wanita hanya menuai kegelisahan—pikir Tuan. Tak sudi menyokong badan, Tuan berlalu. Tuan pernah tersakiti karena cintanya terhadap wanita, logikanya cacat. Tuan masih berjalan di trotoar itu, hendak mencari hawa segar nampaknya. Ia lalui fatamorgana, melankolia, gundah gulana, acap serupa dalam pikirannya setiap hari. Oh sial! Seorang rampok berada tepat di depannya, menikmati sebatang ganja dengan binar di wajahnya. Tuan menyebut dengan lirih—“Tenang, mungkin ia memilik maksud lain yang membawa banyak manfaat”—terlalu dalam menyelami sastra klasik dan utilitarian, apakah Tuan seorang utilitarian? Entah, Tuan juga bingung. Tuan pulang dengan nafas yang segar, oh kota yang rupawan nan menyegarkan.
Di batas petang Tuan kembali menilik De Profundis milik Oscar Wilde, menggebu kalbunya, mengingat hari terlewat pagi. Tuan kesal, ia membanting ponselnya. “SIAL! PARA MANUSIA SIALAN!”—rujuknya kepada dunia di sekelilingnya. Ia merengek sedih tanpa ia sadar telah acuh kepada manusia.
Tak manusiawi sang Tuan, asalkan tidak merasa sedih, ia bahagia. Egosentris kata manusia pada umumnya, atau justru sangat manusiawi? Entah, hanya manusia yang bisa melakukan hal keji.
Pemuda bernama Tuan masih linglung, entah Descartes, Oscar Wilde, atau Jalaluddin Rumi yang termaksud. Ia bukan manusia, ia hewan bernama manusia.
Komentar
Posting Komentar