Hadirnya membuat aku menjadi hidup, setelah berusaha sedemikian rupa untuk lepas dari penat, putus asa, putus cinta, putus harapan, dan putus-putus lainnya. Hadirnya membuat perasaan hampa ini menjadi menyala, seperti terbitnya matahari ketika menyeruak menerangi gelap serta menghangatkan gundah serta menghangatkan emosi yang redam yang kelam yang juga pasti payah. Di cerahnya pagi dia juga membawa kehidupan laksana matahari menerangi padi yang ditanam oleh para petani yang tak kalah asri dengan rimbunnya hutan hujan, hutan alami, juga hutan biologi untuk penelitian para ahli. Menjelang siang yang terik ia menjelma, tak lagi menjadi matahari namun menjadi dedaunan rindang yang sejuk dipandang dan dirasakan di kala kita menyingsing kaos bagian lengan di kerindangan taman kota. Menuju senja ia seperti hutan-hutan rimba yang aku hadapi, yang aku balas dengan sampah-sampah yang menodai. Aku balas ia dengan penebangan yang tak aku menahu untuk apa aku merusaknya, aku hanya...
Setelah Nongkrong, di kosan sugiono Malam sudah lewat jam sebelas waktu aku akhirnya cabut dari warung kopi. Sisa-sisa obrolan ngalor-ngidul sama anak-anak kampus masih nempel di kepala. Sebelum balik ke kamar, aku mampir dulu ke kosan Sugiono, niatnya cuma mau balikin jaket yang kemarin aku pinjam. Kosan Sugiono ini ada di ujung gang buntu, bangunan tua yang kayaknya udah menyerah sama zaman. Di bawah cahaya remang dari satu-satunya lampu jalan yang masih hidup, tempat itu kelihatan lebih... aneh dari biasanya. Koridornya sempit, temboknya lembap dan penuh bercak jamur. Beberapa genteng kelihatan sudah melorot, bikin langit malam jadi hiasan atap yang bolong. Sandal jepit dan sepatu butut berserakan asal-asalan di depan pintu-pintu kamar yang tertutup rapat. Di sudut, genangan air sisa hujan tadi sore memantulkan cahaya bulan, diam tak beriak. Suasananya hening banget. aku ketuk pintu kamar Sugiono, kayu tripleknya terasa tipis di tangan. "Woy, Gi!" Nggak ada jawaban. Tapi d...